PERKEMBANGAN ILMU FALAK
Perkembangan konsep alam semesta
telah lahir sejak adanya
peradaban manusia. Bagaimana manusia mengenal lingkungan tempat
tinggalnya kemudian beranjak tentang bentuk bumi dan hubungannya dengan
“langit” sesuai yang dilihatnya. Memperhatikan berbagai objek dan gejala di
langit adalah kegiatan yang sudah dimulai sejak peradaban yang paling kuno
sekalipun. Secara fitrah manusia ingin tahu lebih banyak dan juga ingin
mendapatkan kejelasan tentang bagaimana hakikat atas segala sesuatu yang
dilihatnya. Hal ini mendorong aktivitas pengamatan dan mencatatnya sebagai
hasil pengamatan (data). Data itu diinterpretasikan dan digunakan oleh
peradaban manusia dari masa ke masa, dari bangsa ke bangsa.
Namun, objek-objek dan gejala yang dilihat adalah yang itu itu juga,
kesannya bisa berbeda, padahal kebenaran ilmiah adalah tunggal. Berbagai
pendapat menyimpulkan, mulai konsep bumi datar, berbentuk silinder, dan
akhirnya diketahui Bumi bulat pepat di kedua kutubnya. Pengetahuan mengenai
planet juga sudah disadari ribuan tahun yang lalu. Seperti planet Mars yang
dikenal sebagai Doshiri (Mesir) jauh sebelum abad 6 SM, bahkan tentang gerak
mundur atau retrograde-nya. Pengetahuan
bahwa Matahari-Bumi-Bulan dan planet-planet merupakan suatu keluarga
telah di kemukakan sejak abad 3 SM,
Dalam melihat perkembangan ilmu falak, diperiodisasikan menjadi : ilmu
falak sebelum Islam, limu falak dalam peradaban Islam, ilmu falak dalam
peradaban Eropa,dan ilmu falak di Indonesia.
A.
ILMU FALAK
SEBELUM ISLAM
Waktu dulu, pada umumnya manusia memahami seluk beluk alam semesta hanyalah
seperti apa yang mereka lihat, bahkan sering di tambah dengan bermacam – macam
tahayul. Menurut mereka, matahari, bulan, dan bintang – bintang dengan sangat
tertib mengelilingi bumi.
Peristiwa terjadinya gerhana, jatuhnya batu meteor, adanya bintang ber ekor
dan sebagainya dianggap sebagai hal yang tidak beres. Demikian pula timbul
anggapan adanya raksasa menelan bulan, ada dewa marah dan sebagainya. Yang
lebih parahnya teori ini banyak di anut oleh masyarakat pada zaman sekarang.
Sekalipun demikian, ada diantara mereka yang memahami alam raya ini dengan
akal rasionya. Para ilmuwan pada saat itu antara lain :
1.
ARISTOTELES (
384 – 322 SM )
Aristoteles berpendapat bahwa pusat jagat raya ini adalah bumi. Bumi selalu
tenang tidak bergerak dan tidak berputar. Semua gerak benda – benda angkasa
mengitari bumi. Lintasan benda – benda angkasa berbentuk lingkaran. Sedangkan
peristiwa gerhama tidak lagi dipandang sebagai adanya raksasa menelan bulan,
melainkan merupakan peristiwa alam. Pandangan manusia tentang jagat raya mulai
saat itu umumnya mengikuti Aristoteles, yaitu Geusentris, yakni bumi sabagai
pusat peredaran benda – benda langit.
2.
CLAUDIUS
PTOLOMEUS ( 140 M )
Pendapatnya sesuai dengan pandangan Aristoteles tentang kosmos, yaitu
geosentris. Ptolomeus menyusun buku besar tentang ilmu bintang – bintang yang
berjudul “Syntasis”. Pandangan Ptolomeus yang geosenrtis ini berlaku sampai
abad ke 6 Masehi tanpa ada perubahan.
B.
ILMU FALAK
DALAM PERADABAN ISLAM
Kalender Arab (pra-Islam)
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah
mengenal kalender. Namun kalender yang dipergunakan adalah kalender
bulan-matahari. Dalam kalender ini, pergantian tahun selalu terjadi di
penghujung musim panas (sekitar bulan September, ketika matahari melewati
semenanjung Arab dari utara ke selatan). Bulan pertama dinamai Muharram, karena
di bulan ini seluruh suku di semenanjung Arab bersepakat mengharamkan
peperangan. Pada bulan kedua, sekitar bulan Oktober, daun-daun mulai menguning.
Karenanya, bulan ini diberi nama Shafar yang berarti kuning. Di bulan ketiga
dan keempat, bertepatan dengan musim gugur (rabi). Keduanya diberi nama bulan
Rabi’ul awwal dan Rabi’ul akhir.
Januari dan Februari adalah musim dingin atau musim beku (jumad), sehingga dinamai Jumadil awwal dan Jumadil akhir. Di bulan berikutnya, matahari kembali melintasi semenanjung Arab. Kali ini matahari bergerak dari selatan ke utara. Salju di Arab mulai mencair. Karenanya, bulan ini dinamai dengan bulan Rajab. Setelah salju mencair, lahan pertanian kembali bisa ditanami. Masyarakat Arab mulai turun ke lembah (syi’b) untuk menanam atau menggembala ternak. Bulan in disebut bulan Sya’ban. Bulan berikutnya, matahari bersinar terik hingga membakar kulit. Bulan in disebut dengan bulan Ramadhan (dari kata ramdhan yang berarti sangat panas).
Januari dan Februari adalah musim dingin atau musim beku (jumad), sehingga dinamai Jumadil awwal dan Jumadil akhir. Di bulan berikutnya, matahari kembali melintasi semenanjung Arab. Kali ini matahari bergerak dari selatan ke utara. Salju di Arab mulai mencair. Karenanya, bulan ini dinamai dengan bulan Rajab. Setelah salju mencair, lahan pertanian kembali bisa ditanami. Masyarakat Arab mulai turun ke lembah (syi’b) untuk menanam atau menggembala ternak. Bulan in disebut bulan Sya’ban. Bulan berikutnya, matahari bersinar terik hingga membakar kulit. Bulan in disebut dengan bulan Ramadhan (dari kata ramdhan yang berarti sangat panas).
Cuaca makin panas di bulan berikutnya, hingga
disebut dengan bulan Syawwal (peningkatan). Puncak musim panas terjadi di bulan
Juli. Di waktu-waktu ini masyarakat Arab lebih senang duduk-duduk (qa’id),
tinggal di rumah daripada bepergian. Bulan ini diberi nama Dzulqa’dah. Di bulan
keduabelas, masyarakat Arab berbondong-bondong pergi ke Makkah untuk menunaikan
ibadah Haji sehingga bulan ini disebut dengan bulan haji atau Dzulhijjah. Sedangkan
bulan ketigabelas yang ditambahkan di setiap penghujung tahun kabisat disebut
dengan bulan Nasi’.
Kalender Hijriah (1)
Kalender Hijriah (1)
Kalender bulan-matahari yang berlaku di
semenanjung Arab ternyata menimbulkan kekacauan. Masing-masing suku menetapkan
tahun kabisatnya sendiri-sendiri. Hal ini menjadi dalih dan pembenaran untuk
menyerang suku lain di bulan Muharram dengan alasan, bulan itu adalah bulan
Nasi’ menurut perhitungan mereka.
Setelah turun wahyu kepada Muhammad saw, kalender bulan-matahari diubah menjadi kalender bulan. Satu tahun terdiri dari duabelas bulan, sebagaimana firman Allah,
Setelah turun wahyu kepada Muhammad saw, kalender bulan-matahari diubah menjadi kalender bulan. Satu tahun terdiri dari duabelas bulan, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya jumlah bulan
menurut Allah ada 12 bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah sewaktu Dia
menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan haram….” [At Taubah: 36]
Meskipun begitu, nama-nama bulan tetap tak
berubah karena sudah terlanjur populer di masyarakat. Lagipula, nama-nama ini
tidak mengandung unsur kemusyrikan. Dengan diberlakukannya kalender bulan,
ramadhan tak lagi selalu jatuh di musim panas. Setiap tahun akan terus
bergeser. Di kalender masehi, kita merasakan perayaan idul fitri akan lebih
cepat 11 hari dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski merepotkan
(tanggalnya selalu berganti-ganti), namun hal ini menguntungkan bagi
saudara-saudara kita yang tinggal di daerah dengan empat musim. Pergeseran
waktu di kalender Masehi membuat Ramadhan bisa terjadi di musim dingin, musim
gugur, musim semi maupun musim panas.
Ketika Rasulullah saw masih hidup, kalender yang digunakan tidak berangka tahun. Jika seseorang ingin menuliskan waktu transaksi, hanya ditulis: 14 Rajab. Tentu saja, hal ini menimbulkan kerancuan, apakah yang dimaksud 14 Rajab tahun ini atau lima tahun yang lalu?
Ketika Rasulullah saw masih hidup, kalender yang digunakan tidak berangka tahun. Jika seseorang ingin menuliskan waktu transaksi, hanya ditulis: 14 Rajab. Tentu saja, hal ini menimbulkan kerancuan, apakah yang dimaksud 14 Rajab tahun ini atau lima tahun yang lalu?
Enam tahun setelah wafatnya Rasulullah saw,
Gubernur Irak, Abu Musa al Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar Bin
Khatthab. Sebagian surat itu berisi saran agar kalender Hijriah diberi angka
tahun. Usul ini pun disetujui. Umar segera membentuk panitia yang beranggotakan
Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Panitia kecil ini bermusyawarah untuk menentukan
kapankah dimulainya tahun pertama. Ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi
saw (‘Am al Fil, 571 M), seperti kalender Masehi yang merujuk pada kelahiran
Isa. Ada pula yang mengusulkan tahun turunnya firman Allah yang pertama (‘Am al
Bi’tsah, 610 M). Pada akhirnya, yang disetujui adalah pendapat Ali yang
menggunakan tahun hijrah dari Makkah ke Madinah (‘Am al Hijrah, 622 M). Alasannya:
1. Dalam Al Qur’aan, Allah memberi banyak
penghargaan pada orang-orang yang
berhijrah.
2. Masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terbentuk setelah hijrah ke Madinah.
3. Ummat Islam diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, tidak terpaku pada satu keadaan dan senantiasa ingin berhijrah menuju keadaan yang lebih baik.
2. Masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terbentuk setelah hijrah ke Madinah.
3. Ummat Islam diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, tidak terpaku pada satu keadaan dan senantiasa ingin berhijrah menuju keadaan yang lebih baik.
Karena tahun pertama dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah, kalender
ini kemudian populer disebut kalender hijriah.
Meski tidak mendetail, aturan tentang kalender hijriah telah tercantum dalam al Qur’aan dan hadits. Aturan tersebut kemudian menjadi pedoman dalam pembuatan kalender hijriah.
Meski tidak mendetail, aturan tentang kalender hijriah telah tercantum dalam al Qur’aan dan hadits. Aturan tersebut kemudian menjadi pedoman dalam pembuatan kalender hijriah.
1.
Satu tahun hijriah terdiri dari 12 bulan. Dalilnya adalah
QS At Taubah ayat 36, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ada 12 bulan…”
2. Pergantian bulan terjadi saat terlihatnya hilal.Dari sekian banyak hadits shahih yang ada, saya ambil salah satu hadits dari kitab shahih Bukhary, “Berpuasalah kamu setelah melihat hilal dan berbukalah setelah melihat hilal. Maka bila pandanganmu terhalang (oleh mendung atau hujan), sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
2. Pergantian bulan terjadi saat terlihatnya hilal.Dari sekian banyak hadits shahih yang ada, saya ambil salah satu hadits dari kitab shahih Bukhary, “Berpuasalah kamu setelah melihat hilal dan berbukalah setelah melihat hilal. Maka bila pandanganmu terhalang (oleh mendung atau hujan), sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
3.
Satu bulan terdiri dari 29 hari. Namun bisa juga menjadi 30 hari jika hilal
masih belum tampak. Dalilnya adalah hadits di nomor 2.
4. Pergantian hari terjadi pada waktu maghrib (setelah matahari terbenam).
Dalilnya adalah hadits di nomor 2.
4. Pergantian hari terjadi pada waktu maghrib (setelah matahari terbenam).
Dalilnya adalah hadits di nomor 2.
Sekitar 300 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, negara – negara islam
telah memiliki kebudayaan dan pengetahuan tinggi. Banyak sekali ilmuwan muslim
bermunculan dengan karyanya yang gemilang tertumpuk di perpustakaan negara
Islam.
Pada tahun 773 M, seorang pengembara
India menyerahkan sebuah buku data astronomi berjudul “Sindhind” atau
“Sindhanta” kepada kerajaan islam di Baghdad. Oleh Khalifah Abu Ja’far al –
Mansur ( 719 – 775 M ), diperintahkan agar buku itu di terjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Perintah ini di laksanakan oleh Muhamad ibn Ibrahim al – Fazari (
W. 796 M ). Atas usahanya inilah al – Fazari dikenal sebagai ahli ilmu falak
yang pertama di dunia islam.
Setelah al
– Fazari, pada abad ke 8 muncul Abu Ja’far Muhamad bin Musa al – Khawarizmi, lahir
di khawarizm ( Kheva ), kota di selatan sungai Okus ( kini Uzbekistan ) pada
tahun 770 M. sebagai ketua observatorium
al – Ma’mun. Dengan mempelajari karya al – Fazari ( terjemaham Sindhind ). Al –
Khawarizmi berhasil mengolah sistim penomoran India menjadi dasar operasional
ilmu hitung. Dengan penemuan angka 0 ( nol ) India, maka terciptalah sistim
pecahan desimal sebagai kunci terpenting dalam pengembangan ilmu pasti. Dia
juga telah berhasil menyusun tabel trigonometri atau Daftar logaritma seperti yang ada sekarang ini.
Selain Al
Khawarizmi, ilmuwan muslim yang cukup terkenal memajukan Ilmu Falak diantaranya
Abdurrahman Ibnu Abu Al- Hussin Al Sufi (Ibnu Sufi), Abu Yousouf Yaqub Ibnu Ishaq
al-Kindi (Al Kindi), Abu Abdallah Mohammad Ibnu Jabir Ibn Sinan al-Raqqi
al-Harrani al-Sabi al-Battani (Al-Battani), Abu Abdallah Mohammad Ibnu
As-Syarif Al-Idrisi (Al-Idrisi), Mohammad Taragay ibnu Shah Rukh (Ulugh Beg)
dsb.
Khawarizmi Ibnu Sufi Al Kindi Al Battani
Al Idrisi Ulugh Beg
Sekalipun ilmu falak dalam peradaban
islam sudah cukup maju, namun yang patut di catat adalah pandangan terhadap alam
masih mengikuti pandangan ptolomeus, yakni geosentris.
C.
ILMU FALAK
DALAM PERADABAN EROPA
Pada saat negara – negara islam mencapai kejayaannya, bangsa Eropa masih
berada dalam ketertinggalan. Sungguh sayang, zaman keemasan islam tidak
berlangsung terlalu lama. Ketika bangsa – bangsa Eropa mulai tertarik pada ilmu
pengetahuan seperti yang telah dipelajari oleh orang – orang islam yang telah
demikian tinggi, serta penemuan di berbagai cabang ilmu pengeetahuan, pendapat
– pendapat ilmuwan muslim mulai di tentang oleh aliran muslim kolot.
Munculnya tentangan oleh aliran muslim kolot, terutama disebabkan oleh
perkembangan Filsafat yang dianggap oleh mereka telah menjurus ke arah
kemurtadan. Dari sini, mereka yang fanatik telah mengambil; kesimpulan bersifat
menyeluruh, bahwa orang – orang yang mendalami pengetahuan umum, termasuk ilmu
falak, apalagi astrologi, semuanya telah menyalahi ajaran Islam.
Di sisi lain, serangan dari bangsa eropa mulai di lancarkan kepada negara –
negara islam, sebagai akibatnya tidak sedikit perpustakaan yang penuh dengan
buku – buku menjadi puing – puing yang berserakan dan isinya pun dibawa ke
eropa dan sebagian terbakar. Akhirnya bangsa yang semula jaya itu kini kenbali
ke jurang keterbelakangan.
Dengan mempelajari ilmu pengetahuan yang telah di capai negara – negara
islam, eropa mulai bangkit. Banyak buku – buku ilmu falak yang di terjemahkan
ke dalam bahasa mereka, misalnya buku “al – Mukhtashar fi hisabil jabr
wal muqabala” karya al – Khawarizmi diterjemakan ke dalam bahasa latin
dengan judul baru : “The Mathematics of Integration and Equations”.
”Suratul ardl” karya al – Khawarizmi, “Al – Madkhalul Kabir” dan “Akhamus
Sinni Wal Mawalid” karya Abu Ma’syar, “ Tabril al – Maghesti” karya
al – Batani, dan masih banyak lagi Buku – buku yang di terjemahkan ke bahasa
mereka.
Di antara ilmuwan Eropa dalam bidang astronomi pada saat itu adalah :
1.
Nicolas
Copernicus ( 1473 – 1543 M )
Copernicus adalah seorang ahli astronomi amatir dari Polandia yang
menentang pandangan geosentris dari Ptolomeus. Ia mengatakan dalam bukunya “Revolutionibus
Orbium Celestium” bahwa matahari merupakan pusat dari suatu sistim
peredaran benda – benda langit,yang di kenal dengan teori Heliosentris.
Sejak Copernicus mengemukakan teori Heliosentrisnya, maka dalam dunia
astronomis sampai abad 18 M ada 2 aliran. Yaitu aliran Geosentris dan aliran
Heliosentris.
2.
Galileo
Galilei ( 1564 – 1642 M )
Setelah Galileo membaca karya Copernicus tentang gerak benda – benda
langit, kemudian ia menyusun teori kinematika tentang benda – benda langit yang
sejalan dengan Copernicus.
Glileo juga berhasil membuat teleskup yang dapat dengan jelas melihat
relief permukaan bulan, noda – noda matahari, planet saturnus dengan cincinnya
yang indah, planet jupiter dengan 4 buah satelitnya, dsb.
Karya galileo ini, oleh gereja saat itu dinyatakan terlarang untuk di baca
umum, karena bertentangan dengan pandangan dan kepercayaan kaum gereja.
3.
Johannes
kepler ( 1571 – 1630 M )
Kepler adalah seorang bangsa Jerman, dengan tidak kenal lelah ia selalu
mengadakan penelitian benda – benda langit , ia memperkuat dan menyenpurnakan
ajaran Copernicus, Teori yang di kemukakan dilandasi dengan matematika yang
kuat.
D.
ILMU FALAK DI
INDONESIA
1. Ilmu Falak Pada Awal Perkembangan di Indonesia
Sejak adanya penanggalan hindu dan penanggalan islam di Indonesia,
khususnya di pulau jawa,serta adanya perpaduan penanggalan tersebut menjadi penanggalan jawa islam oleh Sultan
Agung, sebenarnya bangsa Indonesia sudah mengenal Ilmu Falak.
Seiring dengan telah kembalinya para ulama muda ke indonesia dari bermukim di Makah, ilmu falak mulai
tumbuh dan berkembang di tanah air. Mereka tidak hanya membawa catatan –catatan
ilmu tentang tafsir, fikih, hadis, tauhid dan tasawuf, melainkan juga membawa
catatan – catatan ilmu falak yang mereka dapatkan sewaktu belajar di sana.
Kemudian meraka ajarkan kepada para santrinya di Indonesia.
Syekh Abdurrahman bin Ahmad al – Misri Pada tahun ( 1314 H / 1898 M )
datang ke Betawi, beliau membawa Zaij ( tabel astronommi ) Ulugh bek ( w. 1420 H
) dan mengajarkan kepada ulama muda di Indonesia saat itu.
Di antara para ulama Indonesia yang belajar kepadanya adalah:
a.
Ahmad Dahlan
sa – Simarani atau at – Tarmasi ( w. 1911 M ), Beliau berasal dari Semarang,
kemudian bertempat tinggal di Termas ( Pacitan jawa timur ). Beliau adalah
gurunya Kh. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiah.
b.
Habib Usman
bin Abdilah bin ‘Aqil bin Yahya ( menantunya Syekh Abdurrahman bin Ahmad al –
Misri sendiri ) yang di kenal dengan
julukan Mufti betawi
Apa yang di peroleh dari Syekh Abdurrahman, kemudian mereka ajarkan kepada
para muridnya masing – masing, Ahmad Dahlan mengajarkan di daerah Termas
Pacitan dengan menyusun buku ilmu falak berjudul “Tadzkiratul Ikhwan fi ba’dli
Tawarikhi wal ‘amalil Falakiyah bi Semarang” yang naskahnya selesai di tulis 21
September 1903 M.
Sedangkan Habib Usman mengajarkan ilmu Falak di daerah Jakarta, dengan
menyusun buku yang berjudul “Iqadzun Niyam fi Mayata ‘alaqahu bil ahillah
was Shiyam” yang di cetak tahun 1903 M oleh percetakan al
Mubarak Betawi.
Ilmu falak yang di ajarkan oleh Habib Usman kemudian di bukukan oleh
muridnya yang bernama Muhammad Mansur bin Abdul Hamid Dumairi al – Batawi
dalam kitab yang berjudul “Sullumun Nayyirain fi Ma’rifati Ijtima’i
wal Kusufain” yang pertama kali di cetak tahun 1925 M oleh percetakan
Borobudur,batavia.
Di daerah Sumatra didapati tokoh ilmu falak yang antara lain bernama Thahir
Djamaluddin dengan karyanya “Pati Kiraan” dengan Djamil
Djambek dengan karyanya “Almanak Jamiliyah”.
Buku – buku ilmu falak tesebut, pada umumnya menggunakan tabel astronomi Ulugh
bek as – Samarkandi, serta perhitungan tidak menggunakan ilmu ukur segitiga
bola, melainkan perhitungan biasa, yakni penambahan (+), pengurangan(-),
pertkalian (x), pembagian(:).
Demikian pula ketika menghitung ketinggian (irtifa’) hilal, digunakan cara
yang sederhana pula, yaitu waktu terbenam matahari rata rata dikurangi waktu
ijtima’ kemudian di bagi dua, atau di kalikan 30 menit.
Memperhatikan hasil perhitungan irtifa’ul hilal yang diperolehnya sering
berbeda dengan kenyataan di lapangan. Oleh sebab itulah, para ahli hisab dewasa
ini mengklasifikasikan sistim hisab semacam ini sebagai sistim nisab Hakiki
taqribi. Karena hasil perhitungan yang di lakukan menunjukkan
tingkat kurang lebih (perkiran).
2. Ilmu Falak Pada Perkembangan baru di Indonesia
Dengan
adanya buku – buku ilmu falak yang menggunakan kaedah – kaedah segitiga bola,
misalnya “Tagribul Maqsad fi Amali bir Rubu’il Mujayyabi” karya Syekh
Muhammad Muhtar bin Atarid al – Bogori. Yang kemudian menetap di Makah.
Buku ini diterbitkan pada hari kamis,26 juni 1913 M.
Buku yang berjudul “Al – Matla’us Sa’id
fi Hisabil Kawakib ‘ala Rashdil Jadid” karya Syekh Husain Zaid (Mesir)
yang di bawa pulang oleh salah seorang jamaah haji pun ternyata membawa
pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan dan kemajuan ilmu falak di
Indonesia.
Pada era
1930 – an banyak bermunculan ahli falak yaang cukup terkenal beserta hasil
karyanya, antara lain:
Ø Muhammad Ma’sum bin Ali al – Maskumambangi al – Jawi (W.1933 M), asal Jombang jatim, hasil karyanya “Badi’atul
Misal fi Hisabis Sinin wal Hilal”
Ø
Hasan Asy’ari, asal Pasuruan Jatim, hasil karyanya “Jadwalul
Auqot” dan “Muntaha Nataijil Aqwal”
Ø Yunus Abdulloh (W. 1955 M) , asal Kediri
Jatim, hasil karyanya “Tashilul Mitsal wal Aqwal”
Ø
Zubair Umar
al – Jailani, asal Bojonegoro Jatim yang kemudian menetap di Salatiga
(W.1990 M) hasil karyanya “Al – Khulashatul Wafiyyah fil Falak bijadwalil
lugharitmiyah”
Pada umumnya jadwal astronomi yang di pakai adalah mengambil dari buku “Al
– Matla’us Sa’id fi Hisabil Kawakib ‘ala Rashdil Jadid” karya Syekh
Husain Zaid (Mesir).
Ketika menghitung ketinggian hilal, sistim ini menggunakan ilmu ukur
egitiga bola dan penyelesaiannya menggunakan daftar logaritma. Maka, hasil yang
di perolehnya cukup akurat, meskipun masih perlu di sempurnakan. Sistim hisab
semacam ini dikatagorikan sebagai Hisab Hakiki Tahkiki.
No comments:
Post a Comment