Wednesday 7 March 2012

PERKEMBANGAN ILMU FALAK


PERKEMBANGAN ILMU FALAK

Perkembangan konsep alam semesta  telah lahir sejak adanya  peradaban manusia. Bagaimana manusia mengenal lingkungan tempat tinggalnya kemudian beranjak tentang bentuk bumi dan hubungannya dengan “langit” sesuai yang dilihatnya. Memperhatikan berbagai objek dan gejala di langit adalah kegiatan yang sudah dimulai sejak peradaban yang paling kuno sekalipun. Secara fitrah manusia ingin tahu lebih banyak dan juga ingin mendapatkan kejelasan tentang bagaimana hakikat atas segala sesuatu yang dilihatnya. Hal ini mendorong aktivitas pengamatan dan mencatatnya sebagai hasil pengamatan (data). Data itu diinterpretasikan dan digunakan oleh peradaban manusia dari masa ke masa, dari bangsa ke bangsa.
Namun, objek-objek dan gejala yang dilihat adalah yang itu itu juga, kesannya bisa berbeda, padahal kebenaran ilmiah adalah tunggal. Berbagai pendapat menyimpulkan, mulai konsep bumi datar, berbentuk silinder, dan akhirnya diketahui Bumi bulat pepat di kedua kutubnya. Pengetahuan mengenai planet juga sudah disadari ribuan tahun yang lalu. Seperti planet Mars yang dikenal sebagai Doshiri (Mesir) jauh sebelum abad 6 SM, bahkan tentang gerak mundur atau retrograde-nya. Pengetahuan  bahwa Matahari-Bumi-Bulan dan planet-planet merupakan suatu keluarga telah di kemukakan sejak abad 3 SM,
Dalam melihat perkembangan ilmu falak, diperiodisasikan menjadi : ilmu falak sebelum Islam, limu falak dalam peradaban Islam, ilmu falak dalam peradaban Eropa,dan ilmu falak di Indonesia.
A.          ILMU FALAK SEBELUM ISLAM
Waktu dulu, pada umumnya manusia memahami seluk beluk alam semesta hanyalah seperti apa yang mereka lihat, bahkan sering di tambah dengan bermacam – macam tahayul. Menurut mereka, matahari, bulan, dan bintang – bintang dengan sangat tertib mengelilingi bumi.
Peristiwa terjadinya gerhana, jatuhnya batu meteor, adanya bintang ber ekor dan sebagainya dianggap sebagai hal yang tidak beres. Demikian pula timbul anggapan adanya raksasa menelan bulan, ada dewa marah dan sebagainya. Yang lebih parahnya teori ini banyak di anut oleh masyarakat pada zaman sekarang.
Sekalipun demikian, ada diantara mereka yang memahami alam raya ini dengan akal rasionya. Para ilmuwan pada saat itu antara lain :
1.           ARISTOTELES ( 384 – 322 SM )
Aristoteles berpendapat bahwa pusat jagat raya ini adalah bumi. Bumi selalu tenang tidak bergerak dan tidak berputar. Semua gerak benda – benda angkasa mengitari bumi. Lintasan benda – benda angkasa berbentuk lingkaran. Sedangkan peristiwa gerhama tidak lagi dipandang sebagai adanya raksasa menelan bulan, melainkan merupakan peristiwa alam. Pandangan manusia tentang jagat raya mulai saat itu umumnya mengikuti Aristoteles, yaitu Geusentris, yakni bumi sabagai pusat peredaran benda – benda langit.
2.           CLAUDIUS PTOLOMEUS ( 140 M )
Pendapatnya sesuai dengan pandangan Aristoteles tentang kosmos, yaitu geosentris. Ptolomeus menyusun buku besar tentang ilmu bintang – bintang yang berjudul “Syntasis”. Pandangan Ptolomeus yang geosenrtis ini berlaku sampai abad ke 6 Masehi tanpa ada perubahan.
B.          ILMU FALAK DALAM PERADABAN  ISLAM
Kalender Arab (pra-Islam)
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah mengenal kalender. Namun kalender yang dipergunakan adalah kalender bulan-matahari. Dalam kalender ini, pergantian tahun selalu terjadi di penghujung musim panas (sekitar bulan September, ketika matahari melewati semenanjung Arab dari utara ke selatan). Bulan pertama dinamai Muharram, karena di bulan ini seluruh suku di semenanjung Arab bersepakat mengharamkan peperangan. Pada bulan kedua, sekitar bulan Oktober, daun-daun mulai menguning. Karenanya, bulan ini diberi nama Shafar yang berarti kuning. Di bulan ketiga dan keempat, bertepatan dengan musim gugur (rabi). Keduanya diberi nama bulan Rabi’ul awwal dan Rabi’ul akhir.
Januari dan Februari adalah musim dingin atau musim beku (jumad), sehingga dinamai Jumadil awwal dan Jumadil akhir. Di bulan berikutnya, matahari kembali melintasi semenanjung Arab. Kali ini matahari bergerak dari selatan ke utara. Salju di Arab mulai mencair. Karenanya, bulan ini dinamai dengan bulan Rajab. Setelah salju mencair, lahan pertanian kembali bisa ditanami. Masyarakat Arab mulai turun ke lembah (syi’b) untuk menanam atau menggembala ternak.
Bulan in disebut bulan Sya’ban. Bulan berikutnya, matahari bersinar terik hingga membakar kulit. Bulan in disebut dengan bulan Ramadhan (dari kata ramdhan yang berarti sangat panas).
Cuaca makin panas di bulan berikutnya, hingga disebut dengan bulan Syawwal (peningkatan). Puncak musim panas terjadi di bulan Juli. Di waktu-waktu ini masyarakat Arab lebih senang duduk-duduk (qa’id), tinggal di rumah daripada bepergian. Bulan ini diberi nama Dzulqa’dah. Di bulan keduabelas, masyarakat Arab berbondong-bondong pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji sehingga bulan ini disebut dengan bulan haji atau Dzulhijjah. Sedangkan bulan ketigabelas yang ditambahkan di setiap penghujung tahun kabisat disebut dengan bulan Nasi’.
Kalender Hijriah (1)
Kalender bulan-matahari yang berlaku di semenanjung Arab ternyata menimbulkan kekacauan. Masing-masing suku menetapkan tahun kabisatnya sendiri-sendiri. Hal ini menjadi dalih dan pembenaran untuk menyerang suku lain di bulan Muharram dengan alasan, bulan itu adalah bulan Nasi’ menurut perhitungan mereka.
Setelah turun wahyu kepada Muhammad saw, kalender bulan-matahari diubah menjadi kalender bulan. Satu tahun terdiri dari duabelas bulan, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ada 12 bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah sewaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan haram….” [At Taubah: 36]
Meskipun begitu, nama-nama bulan tetap tak berubah karena sudah terlanjur populer di masyarakat. Lagipula, nama-nama ini tidak mengandung unsur kemusyrikan. Dengan diberlakukannya kalender bulan, ramadhan tak lagi selalu jatuh di musim panas. Setiap tahun akan terus bergeser. Di kalender masehi, kita merasakan perayaan idul fitri akan lebih cepat 11 hari dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski merepotkan (tanggalnya selalu berganti-ganti), namun hal ini menguntungkan bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah dengan empat musim. Pergeseran waktu di kalender Masehi membuat Ramadhan bisa terjadi di musim dingin, musim gugur, musim semi maupun musim panas.
Ketika Rasulullah saw masih hidup, kalender yang digunakan tidak berangka tahun. Jika seseorang ingin menuliskan waktu transaksi, hanya ditulis: 14 Rajab. Tentu saja, hal ini menimbulkan kerancuan, apakah yang dimaksud 14 Rajab tahun ini atau lima tahun yang lalu?


Enam tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, Gubernur Irak, Abu Musa al Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar Bin Khatthab. Sebagian surat itu berisi saran agar kalender Hijriah diberi angka tahun. Usul ini pun disetujui. Umar segera membentuk panitia yang beranggotakan Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Panitia kecil ini bermusyawarah untuk menentukan kapankah dimulainya tahun pertama. Ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi saw (‘Am al Fil, 571 M), seperti kalender Masehi yang merujuk pada kelahiran Isa. Ada pula yang mengusulkan tahun turunnya firman Allah yang pertama (‘Am al Bi’tsah, 610 M). Pada akhirnya, yang disetujui adalah pendapat Ali yang menggunakan tahun hijrah dari Makkah ke Madinah (‘Am al Hijrah, 622 M). Alasannya:
1.  Dalam Al Qur’aan, Allah memberi banyak penghargaan pada orang-orang   yang berhijrah.
2.  Masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terbentuk setelah hijrah ke Madinah.
3.  Ummat Islam diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, tidak terpaku pada satu keadaan dan senantiasa ingin berhijrah menuju keadaan yang lebih baik.
Karena tahun pertama dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah, kalender ini kemudian populer disebut kalender hijriah.
Meski tidak mendetail, aturan tentang kalender hijriah telah tercantum dalam al Qur’aan dan hadits. Aturan tersebut kemudian menjadi pedoman dalam pembuatan kalender hijriah.
1.   Satu tahun hijriah terdiri dari 12 bulan. Dalilnya adalah QS At Taubah ayat 36, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ada 12 bulan…”

2.   Pergantian bulan terjadi saat terlihatnya hilal.Dari sekian banyak hadits shahih yang ada, saya ambil salah satu hadits dari kitab shahih Bukhary,  “Berpuasalah kamu setelah melihat hilal dan berbukalah setelah melihat hilal. Maka bila pandanganmu  terhalang (oleh mendung atau hujan), sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
 
3.   Satu bulan terdiri dari 29 hari. Namun bisa juga menjadi 30 hari jika hilal masih belum tampak. Dalilnya adalah hadits di nomor 2.

4.   Pergantian hari terjadi pada waktu maghrib (setelah matahari terbenam).
       Dalilnya adalah hadits di nomor 2.
Sekitar 300 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, negara – negara islam telah memiliki kebudayaan dan pengetahuan tinggi. Banyak sekali ilmuwan muslim bermunculan dengan karyanya yang gemilang tertumpuk di perpustakaan negara Islam.
          Pada tahun 773 M, seorang pengembara India menyerahkan sebuah buku data astronomi berjudul “Sindhind” atau “Sindhanta” kepada kerajaan islam di Baghdad. Oleh Khalifah Abu Ja’far al – Mansur ( 719 – 775 M ), diperintahkan agar buku itu di terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Perintah ini di laksanakan oleh Muhamad ibn Ibrahim al – Fazari ( W. 796 M ). Atas usahanya inilah al – Fazari dikenal sebagai ahli ilmu falak yang pertama di dunia islam.
          Setelah al – Fazari, pada abad ke 8 muncul Abu Ja’far Muhamad bin Musa al – Khawarizmi, lahir di khawarizm ( Kheva ), kota di selatan sungai Okus ( kini Uzbekistan ) pada tahun 770 M.  sebagai ketua observatorium al – Ma’mun. Dengan mempelajari karya al – Fazari ( terjemaham Sindhind ). Al – Khawarizmi berhasil mengolah sistim penomoran India menjadi dasar operasional ilmu hitung. Dengan penemuan angka 0 ( nol ) India, maka terciptalah sistim pecahan desimal sebagai kunci terpenting dalam pengembangan ilmu pasti. Dia juga telah berhasil menyusun tabel trigonometri atau Daftar logaritma  seperti yang ada sekarang ini. 
 Selain Al Khawarizmi, ilmuwan muslim yang cukup terkenal memajukan Ilmu Falak diantaranya Abdurrahman Ibnu Abu Al- Hussin Al Sufi (Ibnu Sufi), Abu Yousouf Yaqub Ibnu Ishaq al-Kindi (Al Kindi), Abu Abdallah Mohammad Ibnu Jabir Ibn Sinan al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-Battani (Al-Battani), Abu Abdallah Mohammad Ibnu As-Syarif Al-Idrisi (Al-Idrisi), Mohammad Taragay ibnu Shah Rukh (Ulugh Beg) dsb.

        
    Khawarizmi      Ibnu Sufi        Al Kindi         Al Battani                 Al Idrisi       Ulugh Beg
          Sekalipun ilmu falak dalam peradaban islam sudah cukup maju, namun yang patut di catat adalah pandangan terhadap alam masih mengikuti pandangan ptolomeus, yakni geosentris.
C.          ILMU FALAK DALAM PERADABAN EROPA
Pada saat negara – negara islam mencapai kejayaannya, bangsa Eropa masih berada dalam ketertinggalan. Sungguh sayang, zaman keemasan islam tidak berlangsung terlalu lama. Ketika bangsa – bangsa Eropa mulai tertarik pada ilmu pengetahuan seperti yang telah dipelajari oleh orang – orang islam yang telah demikian tinggi, serta penemuan di berbagai cabang ilmu pengeetahuan, pendapat – pendapat ilmuwan muslim mulai di tentang oleh aliran muslim kolot.
Munculnya tentangan oleh aliran muslim kolot, terutama disebabkan oleh perkembangan Filsafat yang dianggap oleh mereka telah menjurus ke arah kemurtadan. Dari sini, mereka yang fanatik telah mengambil; kesimpulan bersifat menyeluruh, bahwa orang – orang yang mendalami pengetahuan umum, termasuk ilmu falak, apalagi astrologi, semuanya telah menyalahi ajaran Islam.
Di sisi lain, serangan dari bangsa eropa mulai di lancarkan kepada negara – negara islam, sebagai akibatnya tidak sedikit perpustakaan yang penuh dengan buku – buku menjadi puing – puing yang berserakan dan isinya pun dibawa ke eropa dan sebagian terbakar. Akhirnya bangsa yang semula jaya itu kini kenbali ke jurang keterbelakangan.
Dengan mempelajari ilmu pengetahuan yang telah di capai negara – negara islam, eropa mulai bangkit. Banyak buku – buku ilmu falak yang di terjemahkan ke dalam bahasa mereka, misalnya buku al – Mukhtashar fi hisabil jabr wal muqabala karya al – Khawarizmi diterjemakan ke dalam bahasa latin dengan judul baru : The Mathematics of Integration and Equations”. ”Suratul ardl” karya al – Khawarizmi, “Al – Madkhalul Kabir” dan “Akhamus Sinni Wal Mawalid” karya Abu Ma’syar, “ Tabril al – Maghesti” karya al – Batani, dan masih banyak lagi Buku – buku yang di terjemahkan ke bahasa mereka.
Di antara ilmuwan Eropa dalam bidang astronomi pada saat itu adalah :
1.   Nicolas Copernicus ( 1473 – 1543 M )
Copernicus adalah seorang ahli astronomi amatir dari Polandia yang menentang pandangan geosentris dari Ptolomeus. Ia mengatakan dalam bukunya “Revolutionibus Orbium Celestium” bahwa matahari merupakan pusat dari suatu sistim peredaran benda – benda langit,yang di kenal dengan teori Heliosentris.
Sejak Copernicus mengemukakan teori Heliosentrisnya, maka dalam dunia astronomis sampai abad 18 M ada 2 aliran. Yaitu aliran Geosentris dan aliran Heliosentris.
2.   Galileo Galilei ( 1564 – 1642 M )
Setelah Galileo membaca karya Copernicus tentang gerak benda – benda langit, kemudian ia menyusun teori kinematika tentang benda – benda langit yang sejalan dengan Copernicus.
Glileo juga berhasil membuat teleskup yang dapat dengan jelas melihat relief permukaan bulan, noda – noda matahari, planet saturnus dengan cincinnya yang indah, planet jupiter dengan 4 buah satelitnya, dsb.
Karya galileo ini, oleh gereja saat itu dinyatakan terlarang untuk di baca umum, karena bertentangan dengan pandangan dan kepercayaan kaum gereja.
3.   Johannes kepler ( 1571 – 1630 M )
Kepler adalah seorang bangsa Jerman, dengan tidak kenal lelah ia selalu mengadakan penelitian benda – benda langit , ia memperkuat dan menyenpurnakan ajaran Copernicus, Teori yang di kemukakan dilandasi dengan matematika yang kuat.
D.          ILMU FALAK DI INDONESIA

1.  Ilmu Falak Pada Awal Perkembangan di Indonesia

Sejak adanya penanggalan hindu dan penanggalan islam di Indonesia, khususnya di pulau jawa,serta adanya perpaduan penanggalan tersebut  menjadi penanggalan jawa islam oleh Sultan Agung, sebenarnya bangsa Indonesia sudah mengenal Ilmu Falak.
Seiring dengan telah kembalinya para ulama muda ke indonesia  dari bermukim di Makah, ilmu falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air. Mereka tidak hanya membawa catatan –catatan ilmu tentang tafsir, fikih, hadis, tauhid dan tasawuf, melainkan juga membawa catatan – catatan ilmu falak yang mereka dapatkan sewaktu belajar di sana. Kemudian meraka ajarkan kepada para santrinya di Indonesia.
Syekh Abdurrahman bin Ahmad al – Misri Pada tahun ( 1314 H / 1898 M ) datang ke Betawi, beliau membawa Zaij ( tabel astronommi ) Ulugh bek ( w. 1420 H ) dan mengajarkan kepada ulama muda di Indonesia saat itu.
Di antara para ulama Indonesia yang belajar kepadanya adalah:
a.   Ahmad Dahlan sa – Simarani atau at – Tarmasi ( w. 1911 M ), Beliau berasal dari Semarang, kemudian bertempat tinggal di Termas ( Pacitan jawa timur ). Beliau adalah gurunya Kh. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiah.
b.   Habib Usman bin Abdilah bin ‘Aqil bin Yahya ( menantunya Syekh Abdurrahman bin Ahmad al – Misri  sendiri ) yang di kenal dengan julukan Mufti betawi
Apa yang di peroleh dari Syekh Abdurrahman, kemudian mereka ajarkan kepada para muridnya masing – masing, Ahmad Dahlan mengajarkan di daerah Termas Pacitan dengan menyusun buku ilmu falak berjudul “Tadzkiratul Ikhwan fi ba’dli Tawarikhi wal ‘amalil Falakiyah bi Semarang” yang naskahnya selesai di tulis 21 September 1903 M.
Sedangkan Habib Usman mengajarkan ilmu Falak di daerah Jakarta, dengan menyusun buku yang berjudul “Iqadzun Niyam fi Mayata ‘alaqahu bil ahillah was Shiyam” yang di cetak tahun 1903 M oleh percetakan al Mubarak Betawi.
Ilmu falak yang di ajarkan oleh Habib Usman kemudian di bukukan oleh muridnya yang bernama Muhammad Mansur bin Abdul Hamid Dumairi al – Batawi dalam kitab yang berjudul “Sullumun Nayyirain fi Ma’rifati Ijtima’i wal Kusufain” yang pertama kali di cetak tahun 1925 M oleh percetakan Borobudur,batavia.
Di daerah Sumatra didapati tokoh ilmu falak yang antara lain bernama Thahir Djamaluddin dengan karyanya “Pati Kiraan” dengan Djamil Djambek dengan karyanya “Almanak Jamiliyah”.
Buku – buku ilmu falak tesebut, pada umumnya menggunakan tabel astronomi Ulugh bek as – Samarkandi, serta perhitungan tidak menggunakan ilmu ukur segitiga bola, melainkan perhitungan biasa, yakni penambahan (+), pengurangan(-), pertkalian (x), pembagian(:).
Demikian pula ketika menghitung ketinggian (irtifa’) hilal, digunakan cara yang sederhana pula, yaitu waktu terbenam matahari rata rata dikurangi waktu ijtima’ kemudian di bagi dua, atau di kalikan 30 menit.
Memperhatikan hasil perhitungan irtifa’ul hilal yang diperolehnya sering berbeda dengan kenyataan di lapangan. Oleh sebab itulah, para ahli hisab dewasa ini mengklasifikasikan sistim hisab semacam ini sebagai sistim nisab Hakiki taqribi. Karena hasil perhitungan yang di lakukan menunjukkan tingkat kurang lebih (perkiran).

2.  Ilmu Falak Pada Perkembangan baru di Indonesia

Dengan adanya buku – buku ilmu falak yang menggunakan kaedah – kaedah segitiga bola, misalnya Tagribul Maqsad fi Amali bir Rubu’il Mujayyabi” karya Syekh Muhammad Muhtar bin Atarid al – Bogori. Yang kemudian menetap di Makah. Buku ini diterbitkan pada hari kamis,26 juni 1913 M.
 Buku yang berjudul “Al – Matla’us Sa’id fi Hisabil Kawakib ‘ala Rashdil Jadid” karya Syekh Husain Zaid (Mesir) yang di bawa pulang oleh salah seorang jamaah haji pun ternyata membawa pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan dan kemajuan ilmu falak di Indonesia.
Pada era 1930 – an banyak bermunculan ahli falak yaang cukup terkenal beserta hasil karyanya, antara lain:
Ø Muhammad Ma’sum bin Ali al – Maskumambangi al – Jawi (W.1933 M),  asal Jombang jatim, hasil karyanya “Badi’atul Misal fi Hisabis Sinin wal Hilal”
Ø Hasan Asy’ari, asal Pasuruan Jatim, hasil karyanya “Jadwalul Auqot” dan “Muntaha Nataijil Aqwal”
Ø Yunus Abdulloh (W. 1955 M) , asal Kediri Jatim, hasil karyanya “Tashilul Mitsal wal Aqwal”
Ø Zubair Umar al – Jailani, asal Bojonegoro Jatim yang kemudian menetap di Salatiga (W.1990 M) hasil karyanya “Al – Khulashatul Wafiyyah fil Falak bijadwalil lugharitmiyah”
Pada umumnya jadwal astronomi yang di pakai adalah mengambil dari buku “Al – Matla’us Sa’id fi Hisabil Kawakib ‘ala Rashdil Jadid” karya Syekh Husain Zaid (Mesir).
Ketika menghitung ketinggian hilal, sistim ini menggunakan ilmu ukur egitiga bola dan penyelesaiannya menggunakan daftar logaritma. Maka, hasil yang di perolehnya cukup akurat, meskipun masih perlu di sempurnakan. Sistim hisab semacam ini dikatagorikan sebagai Hisab Hakiki Tahkiki.

3.   Ilmu Falak Perkembangan Selanjutnya

4.   Ilmu Falak Dalam Komputer











No comments:

Post a Comment